Dalam
lintasan sejarah kita akan selalu menyaksikan bagaimana keberadaan pembela HAM
selalu terancam. Posisi mereka sangat rentan oleh tindakan-tindakan yang
membahayakan nasib dan hidup mereka. Eksistensi para pembela HAM berbeda dengan
aktor-aktor terancam lainnya karena yang mereka hadapi adalah para pelaku
kebijakan yang mempunyai kekuatan, kekuasaan dan modal yang tidak segan-segan
digunakan untuk mematikan dan menghancurkan para aktifis HAM tersebut.
Salah
satu pembela HAM yang masih terkenang sampai saat ini ialah almarhum Munir.
Kegigihannya membela kelompok tertindas, keberaniannya mengkritik pemangku
otoritas dan suara lantangnya yang
menggugat aparat militer untuk bertanggungjawab atas tindakan-tindakan keji
pelanggaran HAM di banyak daerah telah menyebabkannya dibunuh. Munir meninggal
ketika dalam perjalanan pesawat Garuda GA 974 dari Singapura menuju Schipol
Belanda dalam rencana studi S2-nya di Utrecht University. Munir dibunuh dengan
menggunakan racun arsenik dengan dosis yang mematikan.
Munir
bukanlah korban satu-satunya. Kita tidak akan lupa terhadap para pembela HAM
seperti Marsinah, Udin, Ja’far Siddiq,
aktifis Trisakti, aktifis Semanggi dan banyak pembela HAM lainnya yang masih
belum kembali karena telah dihilangkan menjelang reformasi di Indonesia. Nasib
para Pembela HAM sungguh memperihatinkan, mereka biasa diintimidasi, diteror,
dipenjarakan dan dibunuh oleh penguasa dan relasi kekuasaannya. Pembela HAM
dengan keteguhan tekad dan semangat untuk menghadirkan nilai-nilai kemanusiaan,
keadilan dan kebenaran di muka bumi, seringkali dihadapkan dengan
pilihan-pilihan nasib yang serba sulit dan tidak dilindungi hukum.
Memahami Konsep Dasar Pembela HAM
Dalam
deklarasi Pembela HAM pada pasal 1 disebutkan bahwa setiap orang mempunyai hak,
secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama untuk memajukan dan memperjuangkan
perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia dan kebebasan dasar di tingkat
nasional dan internasional. Lebih tegas Perwakilan Khusus Sekretaris Jenderal
PBB yang bergerak dalam bidang Pembela HAM menyebut “Human Rights Defenders” sebagai istilah yang digunakan untuk
menunjuk pada orang yang secara individu maupun bersama pihak lain bertindak
untuk memajukan perlindungan HAM.
Dalam
Laporan Pembela HAM Amerika tahun 2003, Amnesty Internasional menyatakan bahwa
pasal 1 Deklarasi Pembela HAM tidak menyatakan secara khusus mengenai siapa
pembela HAM. Amnesty Internasional menyebut bahwa siapa saja yang melakukan
kerja-kerja untuk HAM bisa dikatakan sebagai Human Rigths Defenders, termasuk didalamnya orang yang memperjuangkan
gender, masyarakat adat, buruh, petani, orang yang memperjuangkan keadilan,
kebenaran dan memperkuat hukum, memperkuat pemerintahan yang demokratis,
memperjuangkan hak-hak sipil dan politik, memperjuangkan hak ekonomi, sosial
dan budaya, serta lainnya. Keluasan definisi Pembela HAM dimaksudkan agar dapat
menjangkau semua lapisan kelompok sipil yang melakukan kerja-kerja HAM
sekaligus menjangkau segala bentuk aktifitas HAM yang dilakukan. Namun demikian
konsep pembela HAM menurut Amnesty Internasional didefinisikan sebagai tindakan
seseorang dalam upaya penghormatan terhadap HAM, bukan dari jabatan profesional
mereka.
Seminar
“Protection of Human Rights Defenders in
Africa : International Norms and
Strategies mendefinisikan pembela HAM sebagai, pertama, orang yang mempertahankan hak sipil, politik, ekonomi,
sosial dan budaya baik yang dimiliki sendiri maupun hak orang lain berdasarkan
prinsip universalitas dan keutuhan HAM. Kedua,
Pembela HAM baik yang bekerja untuk hak perempuan, hak atas tanah, perlindungan
lindungan ataupun kebebasan sipil, memegang peranan penting dalam pemajuan dan
perlindungan HAM dan kebebasan dasar. Ketiga,
tujuan aktifitas mereka ialah pelaksanaan hukum HAM domestik dan kewajiban internasional, serta mendorong
tanggungjawab pemerintah secara penuh untuk memajukan dan melindungi semua
aspek HAM.
Front
Line, satu NGO HAM berbasis di Dublin Irlandia mendefinisikan pembela HAM
sebagai seseorang yang bekerja dengan cara tanpa kekerasan untuk sebagian atau
keseluruhan hak yang diabadikan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
Sedangkan Focus Group Discussion
Imparsial tentang Pembela HAM di Medan dan Papua pada Agustus dan Oktober 2004
mendefinisikan pembela HAM jika memenuhi unsur-unsur, pertama, mereka yang bekerja dan beraktifitas mempromosikan HAM. Kedua, non combatant. Ketiga, non violence. Keempat, individu dan kelompok. Dari berbagai definisi tersebut dapat
disimpulkan bahwa setiap masyarakat sipil dapat dikatakan sebagai pembela
HAM dengan syarat tindakannya mempunyai
muatan dimensi perlindungan, penghormatan dan pemenuhan HAM.
Situasi dan Kondisi Pembela HAM di
Indonesia
Para
pembela HAM di Indonesia sungguh menghadapi situasi dan kondisi yang sangat
memprihatinkan. Kekuasaan yang selalu berujung pada totalitarian memaksa para Pembela
HAM mengalami nasib yang serba sulit.
Mereka sangat rentan kekerasan, teror, intimidasi dan pembunuhan. Sejarah
paling gelap menimpa para Pembela HAM terjadi ketika era rezim Orde Baru.
Kekejaman dan pembunuhan terhadap para pembela HAM terjadi cukup beringas di
era ini. Menjelang kejatuhan Soeharto pada 21 Mei 1998, rezim Orde Baru dengan
aparatnya, menculik dan menghilangkan belasan aktifis. Sebagian besar mereka nasibnya
belum diketahui sampai saat ini, meninggal ataukah hidup.
Diantara
peristiwa yang kita tidak akan lupa ialah nasib yang Marsinah, seorang buruh
karena demonstrasinya menuntut menuntu hak-hak buruh berupa kenaikan UMR
akhirnya ia dibunuh, nasib Udin, seorang wartawan Bernas dibunuh karena menulis
kasus korupsi salah satu bupati di Yogyakarta, Ja’far Siddiq karena tuntutannya
meminta hak referendum di Aceh ia akhirnya dibunuh, kasus Nipah di Sampang
Madura tahun 1993, penembakan mahasiswa Trisakti 12 Mei 1999 dan 5 orang
meninggal, tragedi Semanggi I dan 5 orang mahasiswa tewas, tragedi Semanggi II
dan 10 orang mahasiswa tewas, Peristiwa Batu Merah Berdarah 11 Agustus 2000 dan
Kebun Cengkeh, Wasior tahun April-Oktober 2001, Kasus Bulukumba tahun 2003, dan
masih banyak kasus HAM lainnya yang harus meninggalkan luka berupa teror,
intimidasi, kekerasan dan pembunuhan.
Pembela HAM yang menjadi korban juga salah
satunya ialah almarhum Munir. Kegigihannya menginvestigasi berbagai pelanggaran
HAM dan meminta pertanggungjawaban para pelanggaran HAM dari kalangan militer
akhirnya ia diracun dengan dosis yang mematikan. Para pembela HAM selalu
mengalami nasib tragis terutama yang terjadi di daerah-daerah konflik seperti
Aceh, Papua, Poso, Ambon dan Timor-Timor. Kita akan mudah menemukan kisah para
aktor pembela HAM yang sangat menggetirkan dan mencemaskan di daerah-daerah
yang sedang dilanda konflik itu.
Nasib
pembela HAM yang sangat memprihatinkan tidak berhenti setelah reformasi di
Indonesia. Sesuai data Imparsial, pada tahun 2003 terdapat 30 kasus kekerasan
terhadap pembela HAM dan tahun 2004 terdapat 152 kasus. Kekerasan terhadap para
pembela HAM dalam kasus-kasus tersebut meliputi penangkapan dan penahanan
sewenang-wenang, dikenakan tuduhan menjadi tersangka, penganiyaan (pemukulan),
penghilangan, pembunuhan di luar proses hukum, pembubaran kegiatan, pelecehan,
penyerbuan dan pengrusakan, dijadikan daftar pencarian orang (DPO), dan
diteror.
Para
korban kekerasan tersebut terdiri dari beragam profesi meliputi aktifis LSM,
Mahasiswa, guru dan dosen, tokoh masyarakat, wartawan, aktifis petani dan PMI.
Sedangkan pelakunya paling banyak adalah aparat polisi khususnya kesatuan
Brimob, militer, Satpol PP dan aktor-aktor non negara meliputi para milisi,
preman, orang yang tidak dikenal dan anggota kelompok gerakan bersenjata.
Para pelaku kekerasan semuanya adalah para pemegang otoritas aparat negara
sedangkan sisanya ialah jejaring para pemegang otoritas preman, OKP dan orang
yang tidak dikenal, mereka telah disewa dan dibayar untuk mengintimidasi,
menteror dan membunuh para pembela HAM.
Kekerasan
terhadap pembela HAM sampai saat ini masih terus berlanjut terutama di
daerah-daerah, misalkan di Yogyakarta. Data LBH menyebutkan di Yogyakarta tahun
2009 telah terjadi pembubaran kongres Golongan Putih oleh aparat dengan alasan
yang tidak jelas, pembubaran dan
aksi kekerasan dalam aksi damai
paguyuban petani lahan pasir kulon progo (PPLP) saat konsultasi publik menolak
pertambangan pasir besi di kulonprogo, dan kriminalisasi
aktifis gerakan anti korupsi Gunung Kidul. Aktifis anti korupsi tersebut hendak
menanyakan perkembangan kasus korupsi ketua DPRD Gunung Kidul, oleh Ketua DPRD aktifis
tersebut langsung dilaporkan ke Polres Gunung Kidul dengan tuduhan pencemaran
nama baik.Kekerasan-kekerasan terhadap pembela HAM pasca reformasi mengalami perubahan
variasi tidak sama dengan rezim Orde Baru yang selalu menggunakan kekerasan
fisik, teror dan pembunuhan.
Bentuk-Bentuk
Hambatan, Kekerasan dan Ancaman Terhadap Pembela HAM
Bentuk-bentuk
hambatan, kekerasan dan ancaman terhadap pembela HAM beragam variasinya.
Berdasarkan kasus-kasus yang terjadi baik di Indonesia ataupun di luar negeri,
bentuk-bentuk kekerasan dan ancaman kekerasan yang biasa dialami oleh para
pembela HAM meliputi, yaitu :
Pertama,
pembatasan hak-hak yang diperlukan dalam melindungi dan memajukan HAM. Para
pembela HAM dalam melakukan aktifitasnya biasanya dilakukan secara damai dengan
menggunakan cara-cara tertentu yang sesuai dengan standar HAM. Tetapi kerapkali
perjuangan para pembela HAM dibatasi dan dihilangkan dan sehingga proses perlindungan, penghortaman
dan pemenuhan HAM akan terhambat bahkan terhenti. Para pembela HAM biasanya
dihambat hak-haknya meliputi hak atas informasi, hak kemerdekaan berserikat,
hak kebebasan berekspresi, kebebasan melakukan pertemuan, kebebasan bergerak
dan hak berpartisipasi dalam pemerintahan.
Pembatasan-pembatasan
tersebut dilakukan oleh aktor negara dengan berbagai relasinya, baik
berdasarkan peraturan perundang-undangan maupun berbagai kewenangan diskresi
yang dimiliki oleh aparat negara. Pembatasan hak atas informasi terjadi ketika
dilangsungkan proses investigasi dan ataupun monitoring terhadap kasus-kasus
pelanggaran HAM, kebebasan berserikat biasanya dihambat dengan peraturan
perundangan, di era Orde Baru berserikat dibunuh dengan dengan Undang-Undang
Asas Tunggal dan Peraturan Hubungan Industrial Pancasila (HIP), dan kebebasan
berekspresi dibatasi dengan dalih bertentangan dengan moralitas dan melanggar
aturan hukum seperti UU No. 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan
Pendapat. Pembatasan-pembatasan oleh negara tersebut semata ingin membangun
kekuasaan yang menunggal, monolitik dan tidak ada kontrol.
Kedua,
menggunakan hukum untuk melanggar HAM. Pembela HAM di banyak negara dan daerah
telah banyak ditangkap dan ditahan secara sewenang-sewenang karena melakukan
kerja-kerja advokasi dan HAM. Negara sebagai pemangku kewajiban tidak
segan-segan menggunakan otoritias pengadilan dan produk hukum yang restriktif
untuk menghambat dan menghukum para pembela HAM. Para pembela HAM biasa
dihadapkan dengan tuntutan hukum atas pelanggaran terkait pemberontakan,
memberikan informasi yang salah, merusak nama baik negara, dan berbagai
tuduhan-tuduhan kriminal lainnya.
Di
Indonesia, aturan hukum yang biasa digunakan untuk menjerat pembela HAM ialah
Pasal 134 KUHP tentang Tindak Pidana Kepada Presiden dan Wakil Presiden, Pasal
160 jo Pasal 155 KUHP tentang Tindak Pidana Penghasutan, Pasal 156 KUHP tentang
Tindak Pidana Kebencian Terhadap Pemerintah, Pasal 136 KUHP tentang Tindak
Pidana Terkait Simbol-Simbol Negara, Pasal 107a dan e UU No. 27 tahun 1999
tentang Perubahan KUHP Yang Berkaitan Dengan Kejahatan Terhadap Keamanan
Negara, Pasal-pasal karet dalam KUHP seperti Pasal 112, 113, 115, 131, 137,
141, 154, 155, 156, 160, 168, 172, 207, 208, 217, 218 dan 239, serta
Pasal-pasal karet dalam Undang-Undang Terorisme No. 15 tahun 2003 seperti Pasal
6, 14 dan 22. Kekerasan dan intimidasi terhadap pembela HAM dengan menggunakan
pasal-pasal karet di Indonesia sudah mentradisi.
Ketiga,
pembunuhan, penghilangan paksa, penganiyaan, penyiksaan dan ancaman kekerasan.
Tindakan-tindakan tidak manusiawi ini kadang dilakukan langsung oleh aparat
negara dan atau menyewa orang lain untuk melakukan aksi-aksi premanisme dan
vandalisme terhadap para pembela HAM. Teror pembunuhan, pengrusakan rumah,
ancaman-ancaman dan berbagai metode aksi lainnya biasa dilakukan oleh aparat
negara untuk menakuti-nakuti dan mengancam terhadap para pembela HAM. Di
Indonesia terjadi seperti, insiden Dili tahun 1991, Marsinah 1993, Jurnalis
Udin, Tragedi 27 Juli, penghilangan aktifis secara paksa oleh Tim Mawar,
Penyerangan kantor PBHI, Kontras, Bendera dan Tempo, Munir, dan banyak lagi
laiinya.
Keempat,
kampanye intimidasi dan penghinaan untuk membangun stigma negatif terhadap para
pembela HAM. Pemerintah dalam konteks ini sudah terbiasa membangun opini untuk
selalu mengkaitkan para pembela HAM dengan pemberontak dan para teroris.
Pemerintah dengan berbagai jejeringnya sudah biasa membangun opini negatif
sehingga memberikan citra negatif terhadap aksi dan program para pembela HAM.
Di era Orde Baru, pemerintah biasa menstempel organisasi tertentu sebagai
bentuk baru PKI seperti PRD dan Sri Bintang Pamungkas. Pasca reformasi stempel
terhadap pembela HAM dikaitkan dengan agen asing yang melakukan infiltrasi, tidak
memiliki nasionalisme dan membayakan kedaulatan negara, tidak sedikit dari para
pembela HAM yang dituduh sebagai pembela teroris dan pendukung para pemberontak.
Kelima,
tidak adanya respon dari pemerintah dan malakukan impunitas terhadap para
pelanggar HAM. Situasi dan kondisi ini memang sudah bisa ditebak sebelumnya,
para pelanggar HAM statusnya memang aparat negara bahkan agen dari pemangku
kekuasaan yang paling tinggi di satu negara. Tuntutan para pembela HAM
rata-rata berujung pada nihilisme, tidak jelas dan serba tidak ada kepastian.
Para pembela HAM harus bersedih lagi karena mayoritas para pelanggar HAM dilepaskan
dan dibebaskan dari tuntutan hukum. Sampai dengan akhir tahun 2009 setidaknya
sudah 7 (tujuh) hasil penyelidikan Komnas HAM masih belum ditindaklanjuti Jaksa
Agung, yaitu peristiwa Penembakan mahasiswa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi
II, Peristiwa Mei 1998, Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa, Peristiwa
Talangsari, Peristiwa Kasus Wamena, dan Peristiwa Wasior. Hasil Penyelidikan
tersebut ditolak mentah-mentah oleh Kejaksaan dengan alasan yang sangat
administratif. Kalaupun ada jalur pengadilan terhadap pelanggaran HAM berat
sebagaimana kasus Timor-Timur dan Tanjung Priok, itu semua tidak lebih sekedar
proses dan mikanisme penutupan sejarah lewat jalan hukum.[11]
Perlindungan Pembela HAM Dalam
Instrumen Nasional
Perlindungan
terhadap pembela HAM dalam instrumen nasional disebutkan secara tegas dalam UUD
1945 pada Pasal 28C ayat (2) yang berbunyi “Setiap
orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara
kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara”. Ketentuan ini
menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk memajukan diri dan berjuang untuk
pemenuhan hak-haknya secara kolektif demi membangun masyarakat, bangsa dan
negara.
Dalam
UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM pada Pasal 100-103 juga menegaskan tentang Perlindungan
Pembela HAM. Pasal 100 berbunyi “Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi
masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya,
berhak berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi
manusia”.
Pasal 101 berbunyi “Setiap
orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya
masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak menyampaikan laporan
atas terjadinya pelanggaran hak asasi manusia kepada Komnas HAM atau lembaga
lain yang berwenang dalam rangka perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak
asasi manusia”
Pasal 102 berbunyi “Setiap
orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya
masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak untuk mengajukan usulan
mengenai perumusan dan kebijakan yang berkaitan dengan hak asasi manusia kepada
Komnas HAM dan atau lembaga lainnya”
Pasal 103 berbunyi “Setiap
orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya
masyarakat, perguruan tinggi, lembaga studi, atau lembaga kemasyarakatan
lainnya, baik secara sendiri-sendiri maupun bekerja sama dengan Komnas HAM
dapat melakukan penelitian, pendidikan, dan penyebarluasan informasi mengenai
hak asasi manusia”.
UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM juga menyebutkan
tentang Perlindungan Pembela HAM. Pasal 34 ayat (1) berbunyi “Setiap korban dan saksi dalam pelanggaran
hak asasi manusia yang berat berhak atas perlindungan fisik dan mental dari
ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun”. Pada ayat (2)
berbunyi “Perlindungan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan aparat
keamanan secara cuma-cuma”.
UU
No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban juga disebutkan tentang
perlindungan para Pembela HAM. Pasal 10 ayat (1) berbunyi “Saksi, Korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik
pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah
diberikannya”. Pada ayat (2) berbunyi “Seorang
Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari
tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam
meringankan pidana yang akan dijatuhkan”. Pada ayat (3) berbunyi “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak berlaku terhadap Saksi, Korban, dan pelapor yang memberikan
keterangan tidak dengan i’tikad baik”.
UU
No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik juga memberikan penjelasan
tentang hak atas informasi publik. Pasal 4 ayat (1) berbunyi “Setiap Orang berhak memperoleh Informasi
Publik sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini”. Pada ayat (2) berbunyi “Setiap Orang berhak: (a). melihat dan
mengetahui Informasi Publik; (b). menghadiri pertemuan publik yang terbuka
untuk umum untuk memperoleh Informasi Publik; (c). mendapatkan salinan
Informasi Publik melalui permohonan
sesuai dengan Undang-Undang ini; dan/atau (d). menyebarluaskan Informasi Publik
sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Namun
demikian, berbagai peraturan nasional tentang perlindungan Pembela HAM di atas
terdapat kelemahan-kelamahan diantaranya, pertama,
ketentuan diatas lebih banyak mencakup korban dan saksi sehingga orang yang
berstatus dilindungi hanya sebatas korban dan saksi. Padahal pembela HAM tidak
hanya saksi dan korban, pihak dan organisasi yang membantu mengungkap
pelanggaran HAM berat juga berpotensi akan mengalami kekerasan dan berbagai
ancaman dari aktor-aktor pelanggar HAM. Perlindungan hanya terhadap saksi dan
korban masih akan tetap menghambat proses pemajuan HAM.
Kedua,
perlindungan juga rata-rata diberikan dalam kasus pelanggaran HAM berat.
Padahal banyak pembela HAM yang tidak hanya bergerak dalam pembelaan
pelanggaran HAM berat, bahkan banyak pembela HAM yang juga bergerak dalam
kasus-kasus pelanggaran HAM berat biasa bahkan diantara mereka juga banyak yang
bergerak dalam advokasi kasus-kasus kriminal yang terjadi di masyarakat.
Pembatasaan pembelaan hanya pada Pembela HAM yang berdimensi pelanggaran HAM
berat merupakan kelemahan sendiri yang tidak mendorong terhadap pemajuan dan
pemenuhan HAM di Indonesia.
Perlindungan Pembela HAM Dalam
Instrumen Internasional
Dalam
instrumen internasional juga dijamin perlindungan para pembela. Sejak 9
Desember 1998 telah diadopsi oleh Majelis Umum PBB “Declaration on the Right and Responsibility of Individuals, Groups,
and Organs of Society to Promote and Protect Universally Recognized Human
Rights and Fundamental Freedom” dengan resolusi 53/144. Deklarasi Pembela HAM
ini awalnya merupakan gagasan hasil elaborasi NGO HAM dan delegasi
negara-negara di dunia. Pada artikel 1, 5, 6, 7, 8. 9, 11, 12, dan 13 “Declaration on the Right and Responsibility
of Individuals, Groups, and Organs of Society to Promote and Protect
Universally Recognized Human Rights and Fundamental Freedom” disebutkan
beberapa hak dari para Pembela HAM, meliputi :
1. Hak untuk mewujudkan perlindungan dan
realisasi HAM baik level nasional ataupun internasional.
2. Hak untuk melakukan kerja-kerja HAM
baik secara individu maupun dalam organisasi dengan individu yang lain.
3.
Hak untuk membentuk asosiasi dan organisasi non pemerintah.
4.
Hak untuk bertemu atau membuat pertemuan secara damai.
5. Hak untuk mencari, mendapatkan,
menerima, dan menyimpang informasi terkait dengan HAM.
6. Hak untuk mendiskusikan dan
mengembangkan ide-idedan prinsip-prinsip
baru tentang HAM dan memperjuangkan penerimaannya.
7. Hak untuk menyampaikan proposal dan
kritik tentang masalah publik kepada lembaga-lembaga dan organisasi
pemerintahan demi meningkatkan fungsinya dan untuk memberikan perhatian
terhadap berbagai aspek dari kerja HAM yang dapat mendorong realisasi HAM.
8. Hak untuk menyatakan keberatan dan
mendapatkan tanggapan terhadap kebijakan dan tindakan pejabat terkait dengan
HAM
9. Hak untuk menawarkan dan memberikan
bantuan hukum profesional atau bantuan nasehat-nasehat lain dalam membela HAM
10. Hak untuk menghadiri dengar pendapat
(public hearing), proses pemeriksaan (penyelidikan dan penyidikan), dan
persidangan untuk menilai kesesuaiannya dengan hukum nasional dan ketentuan HAM
internasional.
11. Hak untuk tidak dihambat atas akses
informasi dan komunikasi dengan organisasi non pemerintah dan organisasi internasional
12.
Hak untuk mendapatkan keuntungan dari suatu ganti kerugian
13.
Hak untuk melakukan pekerjaan atau profesi Pembela HAM
14.
Hak atas perlindungan efektif menurut hukum nasional dalam mereaksi atau
melawan, secara damai, atas tindakan atau pembiaran yang dilakukan negara yang
menghasilkan pelanggaran HAM
15. Hak untuk mengumpulkan, menerima,
dan menggunakan sumber-sumber daya untuk melindungi HAM (termasuk hak untuk
menerima dana dari luar negeri)
Hak-hak
yang terumuskan dalam Deklarasi di atas sesungguhnya merupakan substansi materi
dalam DUHAM, ICCPR, ICESCR. Di Indonesia hak-hak tersebut sebenarnya juga telah
termuat dalam UUD 1945 terutama Pasal 28A-28I, juga telah diatur dalam dalam UU
No. 39 tahun 1999 tentang HAM, UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, UU
No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dan UU No. 14 tahun
2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Pada artikel 2, 9, 12, 14 dan 15 “Declaration on the Right and Responsibility
of Individuals, Groups, and Organs of Society to Promote and Protect
Universally Recognized Human Rights and Fundamental Freedom” menyebutkan
tentang peran dan tanggungjawab negara, meliputi ;
1. Melindungi,
memajukan, dan melaksanakan HAM secara keseluruhan
2. Menjamin
bahwa semua orang dalam yurisdiksinya dapat menikmati semua hak-hak sosial,
ekonomi, politik, serta hak-hak dan kebebasan-kebebasan lainnya.
3. Mengadopsi
dalam lingkup legislatif, administratif, dan tahapan lain yang dibutuhkan untuk
menjamin pelaksanaan yang efektif dari hak-hak dan kebebasan-kebebasan
tersebut.
4. Menyediakan
penggantian yang efektif kepada korban pelanggaran HAM
5. Melakukan
investigasi yang cepat dan tepat serta impartial terhadap pelanggaran HAM yang
terjadi
6. Melakukan
semua langkah yang diperlukan untuk menjamin perlindungan terhadap setiap orang
dari segala pelanggaran, ancaman, pembalasan, tindakan diskriminasi, tekanan,
atau tindakan sewenang-wenang lainnya sebagai konsekwensi dari kegiatan yang
sah menurut Deklarasi Pembela HAM
7. Memajukan
pemahaman publik tentang hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya
8. Menjamin
dan mendukung pembuatan dan pengembangan institusi nasional independen untuk
memajukan dan melindungi HAM, seperti Ombudsman atau Komisi HAM
9. Memajukan
dan memfasilitasi pendidikan HAM pada semua level baik pendidikan formal
ataupun non formal.
Selain
Dekarasi Pembela HAM di atas, terdapat beberapa resolusi Komisi HAM PBB yang
memberikan perlindungan terhadap para pembela HAM, diataranya, Resolusi
2001/64, resolusi 2002/70 dan resolusi 2003/64. Resolusi 2001/64 menekankan
perlunya upaya yang kuat dan efektif untuk melindungi para Pembela HAM dengan
cara, pertama, menyerukan kepada
semua negara untuk memajukandan melaksanakan Deklarasi Pembela HAM. Kedua, menuntut semua pemerintahan untuk
bekerjasama dan membantu Perwakilan Khusus dalam melaksanakan tugasnya dengan
memberikan semua informasi yang diminta. Ketiga,
meminta kepada semua agen dan organisasi PBB untuk memberikan bantuan dan dukungan
kepada Perwakilan Khusus dalam pelaksanaan programnya sesuai dengan mandatnya
masing-masing. Keempat, menyerukan
kepada semua negara untuk melakukan upaya yang diperlukan dalam menjamin
perlindungan Pembela HAM. Resolusi 2002/70 menekankan pentingnya perlindungan
Pembela HAM dengan cara-cara, meliputi :
1. Menyerukan
kepada semua negara untuk memajukan dan melaksanakan Deklarasi Pembela HAM.
2. Mengutuk
semua pelanggaran HAM terhadap orang yang melakukan pemajuan dan pembelaan HAM
dan kebebasan dasar di seluruh dunia, dan menuntut semua negara melakukan
langkah-langkah yang tepat sesuai dengan Deklarasi dan semua instrumen HAM lain
yang relevan untuk mengakhiri pelanggaran HAM.
3. Menyerukan
kepada semua negara untuk melakukan upaya yang diperlukan demi menjamin
perlindungan Pembela HAM.
4. Menekankan
pentingnya melawan impunitas dan karenanya menuntut negara untuk mengambil
langkah yang tepat menghapuskan impunitas dan tindakan-tindakan yang
mengintimidasi Pembela HAM.
5. Menuntut
semua negara bekerjasama dan membantu Perwakilan Khusus dalam melaksanakan
tugasnya dengan memberikan semua informasi yang dibutuhkan untuk melaksanakan
mandatnya.
6. Menuntut
pemerintahan-pemerintahan yang belum merespon upaya komunikasi yang telah
disampaikan oleh Perwakilan Khusus untuk segera menjawab tanpa penundaan lebih
lanjut
7. Mengundang
pemerintahan-pemerintahan untuk menterjemahkan deklarasi ke dalam bahasa
nasional dan mendorong penyebarluasannya
8. Meminta
semua agen dan organisasi PBB sesuai dengan mandatnya masing-masing untuk
menyediakan bantuan dan dukungan kepada Perwakilan Khusus dalam melaksanakan
progragm aktifitasnya
9. Meminta
kepada Sekretaris Jenderal untuk memberikan sumber-sumber personal dan
finansial demi pemenuhan secara efektif mandat dari Perwakilan Khusus
Sedangkan
Resolusi 2003/64 menekankan perlunya upaya yang kuat dan efektif untuk
melindungi Pembela HAM dengan cara-cara, meliputi :
1. Menyerukan kepada semua negara untuk memajukan dan melaksanakan Deklarasi
Pembela HAM
2. Mengutuk
semua pelanggaran HAM terhadap orang yang melakukan pemajuan dan pembelaan HAM
dan kebebasan dasar di seluruh dunia, dan menuntut semua negara melakukan
langkah-langkah yang tepat sesuai dengan deklarasi dan semua instrumen HAM lain
yang relevan untuk mengakhiri pelanggaran HAM
3. Menyerukan
kepada semua negara untuk melakukan upaya yang diperlukan demi menjamin
Perlindungan Pembela HAM
4. Menekankan
pentingnya melawan impunitas dan karenanya menuntut negara-negara untuk
mengambil langkah yang tepat menghapuskan impunitas dan tindakan-tindakan yang
mengintimidasi Pembela HAM
5. Menuntut
semua negara bekerjasama dan membantu Perwakilan Khusus dalam melaksanakan
tugasnya dengan memberikan semua informasi yang dibutuhkan untuk melaksanakan
mandatnya
6. Menyerukan
kepada semua pemerintahan memberikan perhatian serius untuk merespon permintaan
Perwakilan Khusus melakukan kunjungan ke negaranya dan menuntut pemerintahan
tersebut melakukan dialog yang konstruktif dengan Perwakilan Khusus dengan
menghargai tindak lanjut dari rekomendasi yang diberikan sehingga dapat
memenuhi mandatnya secara efektif
7. Menuntut
pemerintahan-pemerintahan yang belum merespon uapay komunikasi yang telah
disampaikan oleh Perwakilan Khusus untuk segera menjawab tanpa penundaan lebih
lanjut
8. Mengundang
pemerintahan-pemerintahan untuk menterjemahkan deklarasi ke dalam bahasa
nasional dan mendorong penyebarluasannya
9. Memutuskan
memperpanjang mandat Perwakilan Khusus masalah Pembela HAM Sekretaris Jenderal
selama tiga tahun dan meminta Perwakilan Khusus melanjutkan melaporkan
aktifitasnya kepada Majelis Umum dan Komisi terkait dengan mandatnya
10. Meminta
Sekretaris Jenderal untuk memberikan sumber-sumber personal dan finansial demi
pemenuhan secara efektif mandat dari Perwakilan Khusus
11. Meminta
semua agen dan organisasi PBB sesuai dengan mandatnya masing-masing untuk
menyediakan bantuan dan dukungan kepada Perwakilan Khusus dalam melaksanakan
program khususnya.
Selain
Deklarasi dan beberapa resolusi di atas, masih terdapat instrumen regional yang
digunakan tingkat Eropa seperti Panduan Uni Eropa Tentang Pembela HAM. Panduan
ini telah disetujui pada pertemuan Majelis Uni Eropa pada tanggal 15 Juni 2004.
Panduan ini merupakan bagian kebijakan lebih lanjut Uni Eropa mengenai HAM dan
meningkatkan kegiatan Uni Eropa dalam perlindungan dan dukungannya terhadap
Pembela HAM di regional Eropa. Panduan ini menjadi dukungan terhadap prosedur
khusus Komisi HAM PBB, khususnya Perwakilan Khusus PBB bagi pembela HAM dan
mikanisme regional yang sesuai untuk melindungi para pembela HAM.
Panduan
yang dikeluarkan Uni Eropa ini mengakui terhadap prinsip-prinsip yang
terkandung dalam Deklarasi Pembela HAM. Uni Eropa mengakui bahwa individu,
kelompok dan badan masyarakat seluruhnya memainkan peranan pentingan dalam
memperjuangkan masalah HAM. Aktifitas mereka diantaranya, pertama, mendokumentasikan kekerasan. Kedua, mencari penyembuhan bagi korban kekerasan melalui bantuan
hukum, psikologis, medis, atau bantuan lainnya. Ketiga, memerangi budaya impunitas yang melindungi pelanggaran
secara sistematis dan berulang terhadap HAM dan kebebasan dasar.
Panduan
Uni Eropa ini juga memberikan panduan operasional yang berfungsi secara
efektif dalam memajukan dan melindungi
para pembela HAM di negara-negara dunia ketiga dalam kaitannya dengan kebijakan
bersama masalah luar negeri dan keamanan. Panduan operasional itu diantaranya
mengenai monitoring, pelaporan dan penilaian yang dilakukan oleh Ketua Misi
Eropa. Ketua Misi Eropa akan memberikan laporan berkala tentang situasi dan
kondisi HAM di negara-negara mereka bertugas. Keberadaan Ketua Misi Eropa
sangat penting kaintannya dengan para pembela HAM, negara-negara anggota
lainnya dan Komisi Khusus PBB yang bergerak untuk Pembela HAM. Persoalan HAM
dalam konteks ini akan menjadi persoalan bersama dan akan selalu menjadi isu
yang mengglobal.
Kesimpulan
Penjelasan
di atas menyimpulkan bahwa perlindungan para Pembela HAM sangat penting
dilakukan. Pembela HAM dalam banyak kasus selalu dihadapkan pada situasi dan
kondisi yang sangat memprihatinkan. Mereka sangat rentan oleh kekerasan,
intimidasi, teror bahkan dari tindakan
pembunuhan. Diantara peristiwa yang menimpa Pembela HAM di Indonesia adalah
Marsinah, Udin, Ja’far Siddiq, Munir, dan para Pembela HAM dalam kasus Nipah di
Sampang Madura tahun 1993, penembakan mahasiswa Trisakti 12 Mei 1999 dan 5
orang meninggal, tragedi Semanggi I dan 5 orang mahasiswa tewas, tragedi Semanggi
II dan 10 orang mahasiswa tewas, Peristiwa Batu Merah Berdarah 11 Agustus 2000
dan Kebun Cengkeh, Wasior tahun April-Oktober 2001, Kasus Bulukumba tahun 2003,
pembunuhan aktifis Munir dan masih banyak lagi yang berlangsung pasca reformasi.
Hambatan,
kekerasan dan ancaman kekerasan yang sering menimpa Pembela HAM
bentuk-bentuknya bervariasi, seperti pembatasan hak-hak yang diperlukan dalam
melindungi dan memajukan HAM, penggunaan hukum untuk melanggar HAM, tindakan pembunuhan,
penghilangan paksa, penganiyaan, penyiksaan dan ancaman kekerasan yang dilakukan
oleh aparat negara dan berbagai relasinya, kampanye intimidasi dan penghinaan
untuk membangun stigma negatif terhadap para pembela HAM, dan tidak adanya
respon dari pemerintah dan malakukan impunitas terhadap para pelanggar HAM.
Perlindungan
hukum terhadap para Pembela HAM sebenarnya sangat jelas dalam beberapa
instrumen nasional dan internasional. Jaminan perlindungan dalam nstrumen
nasional tercantum pada Pasal 28C ayat (2) UUD 1945, Pasal 100-103 UU No. 39 tahun 1999 tentang
HAM, Pasal 34
ayat (1) UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, UU No. 13 tahun
2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban khususnya Pasal ayat 1, 2 dan 3, dan
Pasal 4 ayat 1 dan 2 UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Sedangkan dalam instrumen internasinal perlindungan terhadap Pembela HAM
tercantum dalam resolusi 53/144 Declaration
on the Right and Responsibility of Individuals, Groups, and Organs of Society
to Promote and Protect Universally Recognized Human Rights and Fundamental
Freedom, resolusi 2001/64, resolusi 2002/70, resolusi 2003/64 dan level
regional Eropa juga terdapat Panduan Uni Eropa Tentang Pembela HAM yang telah
disetujui pada pertemuan Majelis Uni Eropa pada tanggal 15 Juni 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar